JAKARTA (Arrahmah.com) – Sekjen Forum Umat Islam (FUI), KH. Muhammad Al-Khaththath menyayangkan sikap pemerintah yang tidak sigap dalam mengungkap aksi teror pembantaian terhadap 4 tahanan di LP Cebongan, Sleman Yogyakarta.
Biasanya aparat kepolisian begitu cepat mengungkap kasus penembakan dengan mengerahkan anggota Densus 88. Namun, kali ini peran Densus 88 yang menurut Kepala BNPT, Ansyaad Mbai dipuji-puji dunia internasional itu seolah tak bersuara.
“Kalau pemerintah benar-benar beritikad baik ingin memberantas terorisme, sebenarnya yang kemarin terjadi di Jogja itu kan yang benar-benar teroris, harusnya itu yang ditangani oleh Densus, tapi kok ngga ada bunyinya Densus itu?” kata KH. Muhammad Al-Khaththath usai menjadi pembicara Semalam Bersama Dewan Dakwah, Sabtu (23/3/2012).
Sikap aparat kepolisian, dalam hal ini Densus 88 jauh berbeda jika diduga pelaku adalah umat Islam. Di Makassar dan Bima misalnya, mereka langsung ditembak mati.
“Tapi kalau kita lihat yang di Makassar, Dompu, Bima itu kan mereka penjual kue, masa tiba-tiba dibunuh lalu dibilang teroris? Ini suatu kebohongan yang nyata,” tandasnya.
Menurut Sekjen FUI tersebut, aksi penyerangan LP Cebongan dengan menggunakan senjata laras panjang dan membunuh 4 orang tahanan titipan, salah satunya diketahui anggota polisi jelas bias dikategorikan aksi terorisme.
“Jelas-jelas mereka sudah membunuh bahkan polisi lagi yang dibunuh, itu teror kepada seluruh instansi kepolisian. Artinya itu pesan kepada seluruh polisi; Awas loh macem-macem sama korps gue, bisa gue bantai! Jadi kalau aksi teroris yang seperti itu harusnya dilakukan penindakan,” paparnya.
Kronologi Kasus Penyerangan Lapas Cebongan
Untuk diketahui, Direktur Keamanan dan Ketertiban (Dirkamtib) Ditjen Pemasyarakatan Kemkumham, Wibowo Joko menjelaskan bahwa penyerangan Lapas Sleman pada Sabtu (23/3) dini hari diduga bermotif dendam. Diperkirakan, tewasnya salah satu anggota Kopassus, Sertu Santoso, dalam kasus pengeroyokan di Hugo’s Cafe, pada Selasa (19/3/13) menjadi pemicu penyerangan.
“Jadi peristiwa itu disebabkan kejadian beberapa hari lalu ada keributan di Cafe Hugo oleh empat orang. Salah satu dari mereka anggota polisi. Namun seorang anggota Kopassus. Ia melerai keributan itu, tetapi ia meninggal karena ditusuk,” kata Wibowo di Jakarta, kepada wartawan di Jakarta , Sabtu (23/3/13).
Namun, keempat orang yang membuat keributan ditangkap polisi dan ditahan di Lapas Sleman. Salah satu yang ditahan adalah Johannes Joan Manbait, yang belakangan diketahui sebagai anggota polisi.
“Usai peristiwa tersebut sejumlah orang mencari siapa yang menusuk. Setelah itu, ketemu empat orang, salah satunya Johannes Joan Manbait. Dititip ke lapas, Jumat (22/3) siang, kemudian dini hari tadi pukul 00:30 WIB lapas diserang,” katanya.
Menurutnya, penyerangan itu sebelumnya terjadi ketika seseorang tidak dikenal mengetuk pintu lapas untuk kordinasi dengan tahanan. Tetapi karena pintu tidak dibuka oleh petugas lapas, oknum berpakaian preman tersebut mendesak untuk bertemu dengan kepala keamanan sebelum memasuki ruang CCTV untuk menghilangkan alat bukti.
“Saat datang kepala keamanan kemudian kepala keamanan ditendang dan dibanting. Setelah itu muncul 20 orang. Dan kelompok itu pergi membawa petugas ke penyimpanan kunci dan ruang CCTV dan dirusak,” terang Wibowo.
Wibowo menyebutkan di antara mereka ada yang membawa senjata AK47 yang beberapa kali ditembakkan ke udara. Mereka menginginkan lokasi blok ditahannya empat orang pelaku pembunuhan Sertu Santoso.
“Blok A5 diisi 38 tahanan, empat di antaranya tahanan yang dititip dari Polda. Diperkirakan membawa AK 47 yang diberondong ke atas. Empat orang dari Polda itu disuruh berbaris terpisah lalu ditembak dan meninggal semua. Lalu dibawa ke RSUP Dr. Sardjito,” ungkapnya.
(voa-islam.com/arrahmah.com)